Sistem Hukum Acara Pidana

  1. 1.  Sistem Inquisitoir

Asas inquisitoir dianut HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inquisitoir ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dasar hokum asas inquisitoir terdapat pada Pasal 164 HIR : “ Maka yang disebut bukti, yaitu :

  • Bukti surat
  • Bukti saksi
  • Sangka
  • Pengakuan
  • Sumpah

Dalam pemeriksaan, pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang – kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Sesuai dengan HAM yang sudah menjadi ketentuan universal, asas inquisitoir ini ditinggalkan oleh banyak negeri yang beradab. Kecuali di Inggris, Irlandia, dan Singapura dimana sistem pemeriksaan akusator telah bergeser kepada siatem inkuisitor. Selaras dengan itu, pembuktian menurut KUHAP, dimana alat – alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “ keterangan terdakwa “ dan ditambah berupa keterangan ahli.

Pada sistem inquisitoir, jaminan serta perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa belum memadai, artinya sering terjadi pelanggaran hak asasi dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan pada tahap pemeriksaan penyidikan. Tidak ada jaminan bantuan hukum, dan pemberian ganti rugi tidak ada ketentuannya. Perlakuan para penegak hukum terhadap mereka masih sewenang – wenang dan tidak ada tindakan hukum yang tegas bagi pelanggaran hak asasi mereka.

  1. 2.  Sistem Accusatoir

Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut sistem akusator, walaupun dalam praktek masih ada pelanggaran maka disebut accusatoir belum penuh ( gemateg accusatoir ). Hal ini berarti, perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan.

Tersangka dipandang sebagai subjek dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan.  Sistem pembuktian menurut KUHAP, dimana alat – alat bukti berupa “ pengakuan “ diganti dengan “ keterangan terdakwa “, dan ditambah dengan keterangan ahli. Untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian ini, para penegak hukum dituntut agar menguasai segi – segi tekhnis hukum dan ilmu – ilmu pembantu acara pidana seperti kriminalistik, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dll. Dalam hal ini terdapat dalam KUHAP :

Pasal 54 KUHAP :

“ Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum …. “

Salah satu hak tersangka/terdakwa yang sering dipermasalahkan dalam sistem akusator adalah hak untuk menjawab atau tidaknya pertanyaan yang diajukan penyidik, penuntut umum dan hakim.

Pasal 52 KUHAP :

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim “.

Dalam penjelasan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah tersangka atau terdakwa berhak diam tidak menjawab pertanyaan.

Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, tersangka/terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan kepada tersangka atau tersakwa “.

Disitulah pentingnya perlindungan HAM terhadap tersangka/terdakwa. Dalam hal itu, bagaimana jika seseorang mengalami penderitaan karena pemeriksaan yang berlangsung lama sedangkan ia tidak bersalah. Penegak hukum diberi wewenang tertentu oleh KUHAP yang langsung mengurangi hak kebebasan tersangka/terdakwa, seperti penahanan, penggeledahan, penyitaan barang, dll. Tindakan tersebut merupakan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam rangkaian proses peradilan pidana yang dalam pelaksanaannya seharusnya memperhatikan HAM.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan fakta, antara lain bahwa semenjak lahirnya UU No 8 Tahun 1981 ( KUHAP ), terdapat beberapa hal yang dianggap inovasi dalam prespektif hukum acara pidana, diantaranya adalah persoalan bantuan hukum terhadap tersangka ( Pasal 50 – 68 KUHAP ). Meskipun telah termuat secara rinci aturan tentang bantuan hukum dan pengaturan cara pemeriksaan selama proses penyidikan ( Pasal 52 diakaitkan dengan Pasal 117 ayat 1 KUHAP ), tidak terlihat adanya pengaturan tentang struktur dan lembaga pencegah, penindak dan akibat hukumnya terhadap pemeriksaan secara “ kekerasan ” dan “ penyiksaan “ selama proses penyidikan.

Tinggalkan komentar